Powered By Blogger

Rabu, 31 Desember 2014

One Day Before Tomorrow.

Tomorrow 3

Open day planner with a ballpoint pen pointing to TOMORROW. Tom Mc Nemar, 2006Tomorrow 3 Open day planner with a ballpoint pen pointing to TOMORROW. Tom Mc Nemar, 2006

One Day Before Tomorrow.
-Hanya Renungan-

Mungkin aku dapat merangkai kata-kata indah dan bersahaja untuk seseorang atau siapapun yang menjadi inspirasiku. Tapi jujur, aku tak bisa menulis puisi untuk diriku sendiri. Bahkan di saat menjelang hari bahagiaku. Aku tidak tahu mengapa. Setiap aku hendak menulis sebuah kata, maka kata yang lain seperti tersedak di pikiranku. Ibarat air yang tak mau mengalir karna terhalang bebatuan.

Aku coba lagi merangkai kata demi kata. Yang ada makin kebuntuan yang aku rasa. Why? I don't know.

Kuhela nafas, dan berharap ada kata ajaib yang mampir di benakku untuk mengawali penulisan kata ini. But, 1 second, 2 second, third second, ten minutes, fivety minuts, one hour, and... Aku hanya diam, tak mampu menulis.

Sudah berapa lama aku mematung disini, sambil mendengarkan lagu Shania Twain, From This Moment, yang aku dengar saat Training Management Level sore tadi di Kantor. Lagu ini begitu menarik, aku langsung mencarinya saat pulang tadi.

Aku bahkan tidak punya inspirasi untuk diriku sendiri. Ada yang bilang dalam Puisi itu ada teorinya, ada yang bertanya padaku tentang majas dalam puisi. Ada yang bilang kata-kata dalam puisiku terlalu berulang, seperti bukan puisi. Mungkin dia dan mereka benar, puisi itu harus ada teorinya.

Buatku puisi itu bebas, tak terikat ruang dan waktu apalagi teori. Puisi itu lahir dari saat kau membuka mata dan sampai kau menutup mata. Dari saat kau menghela nafas sampai kau menghembuskannya. Dari saat kau temukan sebuah inspirasi, sebuah moment, sebuah kata ajaib untuk memulainya, dan sebuah rasa yang tulus untuk merangkainya. Itu puisi buatku, tak butuh sejuta teori untuk melahirkan puisi. Aku hanya butuh sentuhan magic di jemariku yang mengalirkan sinyal membakar otakku dan seluruh tubuhku akan bergetar saat menulisnya, lalu lahirlah sebuah kata. Kata untuk memulai puisi yang akan ku tulis. Mungkin bagi banyak orang ini berlebihan, tapi buatku ini berkurangan, karna puisiku miskin teori, hanya kaya perasaan. Itulah mengapa aku tak pernah tahu berapa banyak puisi sudah kugubah, berapa juta kata telah kurakit, aku tak pernah hafal apa yang sudah ku tulis, bahkan aku bisa lupa bahwa aku pernah menulis puisi seindah ini, itu, dan yang lalu. Yang aku tahu, puisi itu lahir dan biarkan dia bebas sebagaimana dia tercipta. So, ketika ada yang mengakui tulisan puisiku adalah hasil karyanya, aku tak pernah peduli. Just smile dan forget it, aku masih bisa menulis lagi bukan habis disitu.

Kali ini satu kata pun tak terlahir, aku butuh satu kata saja untuk memulai puisi ini...

-JeremiahB1608CFO-

Unlike · ·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar